Review Film “Wonderful Life”: Tentang Mecintai dengan Lebih Baik

by SINEDU.ID


Posted on November 28, 2016 | Review Film


Image

oleh: Najelaa Shihab (Keluarga Kita & Sinedu.id)

Sebagai penikmat film, saya sering membedakan pengalaman menonton berdasarkan apa yang dirasakan setelah film usai. Sebagian membuat kita ingin segera berbagi dan melakukan apa yang kita pikirkan, sebagian yang lain mendorong kita berefleksi dan menata kembali memori. “Wonderful Life” melakukan keduanya–kita bisa kembali belajar prinsip-prinsip utama pengasuhannya Keluarga Kita.

Saya selalu percaya bahwa:

– Tugas menjadi orangtua adalah perjalanan maraton, yang membuat kita harus mengutamakan kepentingan jangka panjang dan tidak mengambil jalan pintas. Amalia memilih kebahagiaan dan mengembangkan kemahiran Aqil, dibanding sekadar nilai dan naik kelas.

– Orangtua yang berhasil selalu punya aspirasi positif dan selalu percaya bahwa anak bisa, bahkan sebelum anak membuktikan dirinya bisa. Aqil menunjukkan bahwa ia mampu menghadapi tantangan justru di saat Umi-nya melompati rasa ragunya terlebih dulu.

– Mencintai di saat sulit, tanpa syarat. Pedih hati melihat bagaimana seorang ibu dan ayah bergulat dengan kebutuhan emosinya sendiri di saat anak justru membutuhkannya untuk sensitif dan responsif terhadap kebutuhan sang anak. Proses ini memang selalu sulit, ujian luar biasa buat semua orangtua.

– Memahami bahwa melakukan kesalahan adalah bagian dari proses belajar anak dan pertumbuhan peran kita sebagai orangtua. Amalia dan Kakek-Nenek Aqil menjadi contoh bahwa meminta maaf kepada anak adalah bagian dari kesempatan baru kita setiap hari untuk menjadi lebih baik.

– Bermain bersama adalah kesenangan yang menguatkan hubungan. Bersahabat dengan alam, berdekatan secara fisik, semua menjadi candu yang mendorong Amalia dan Aqil semakin menyadari betapa mereka saling membutuhkan.

Pengalaman menonton ini menjadi pengalaman positif buat seluruh keluarga. Angga Sasongko, salah seorang produsernya, mengatakan bahwa film ini adalah, “Produksi Visinema Pictures yang paling ringan.” Tapi saya percaya justru di sini kekuatannya, karena di dunia pendidikan, salah satu yang paling sulit dalam menyampaikan pesan adalah merangsang pemahaman mendalam muncul lewat pengalaman sederhana.

Di sisi lain, sulit bagi saya untuk tidak melihat cerita pribadi ini dengan kacamata kebijakan pendidikan. Banyak sekali pengalaman satu, sepuluh, seratus, bahkan ribuan orang yang kemudian menjadi sekadar statistik tak bermakna di antara puluhan juta anak, orangtua, dan guru di Indonesia. Film “Wonderful Life” menunjukkan betapa seorang anak yang semestinya adalah subjek dalam pendidikan, sering kali justru menjadi korban dari sistem, karena intervensi yang tidak tepat. Betapa sekolah yang mestinya menumbuhkan disposisi positif untuk belajar dan memberi kesempatan sukses, justru membelenggu pengembangan potensi karena selalu berfokus pada kekurangan.

Dan betapa sulitnya menumbuhkan iklim yang mendukung pendidikan inklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus, baik di kelas formal, di ruang keluarga, ataupun ruang terapi profesional. Menggunakan istilah yang tepat tanpa melabel, mencari dukungan yang optimal berdasar riset dan praktik baik, masih menjadi pekerjaan rumah untuk pendidikan yang menyenangkan dan bermakna bagi setiap anak. Tapi, menonton film ini membuat saya semakin yakin, bahwa kita, dan apa yang kita bisa lakukan, adalah jawaban dari apa yang kita nanti-nantikan.